Pati,TifaPapua.net || Di balik wajah tenang sebuah kota kecil di Jawa Tengah,gelombang besar sedang dipersiapkan.Bukan hanya sekadar barisan massa melainkan suara rakyat yang merasa diabaikan.Senin,25 Agustus 2025,ribuan langkah kaki akan bertemu,di Alun-alun Pati dengan satu tuntutan : percepat pemakzulan Bupati Sudewo.
Baca Juga : Forum Pencaker OAP Raja Ampat Tolak Hasil Seleksi Fasilitator Program TEKAD Kemendesa 2025
Sebelumnya,kabar simpang siur sempat beredar.Selebaran menyebut aksi besar akan digelar 20 Agustus.Namun klarifikasi datang dari Ahmad Husein,tokoh yang tak asing lagi dalam setiap gerakan warga.
Ia memastikan: “Tanggalnya bukan 20,tapi 25 Agustus.Kami ingin seluruh masyarakat tahu dan bersiap.”
Husein pernah memimpin Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.Namun,karena ada perjanjian dengan pihak kepolisian agar tidak menggelar aksi lagi sebelum hasil Pansus DPRD keluar,kini ia membawa nama baru: Aliansi Masyarakat Pati Timur Bersatu.Nama boleh berubah,tetapi aspirasi tetap sama—suara rakyat yang ingin didengar.
“Namanya Masyarakat Pati Timur Bersatu.Tapi ini mewakili seluruh warga Pati.Rencananya ada 50 ribu orang yang akan turun,”kata Husein,penuh keyakinan.
Bagi mereka, pemakzulan bukan sekadar kata, melainkan jalan terakhir untuk memperbaiki marwah kepemimpinan di daerah. Warga menuntut DPRD segera menuntaskan pembahasan Pansus Hak Angket dan tidak berlama-lama menunda keputusan.
“Kalau rakyat sudah turun, artinya kesabaran ada batasnya,”ucap seorang warga yang ikut bersiap dalam barisan aksi.
Meski ribuan massa diperkirakan hadir,Husein berulang kali menekankan pentingnya kedamaian. “Jangan anarkis, jangan merusak fasilitas. Itu hanya akan merugikan kita sendiri. Aksi ini untuk memperjuangkan kebenaran, bukan menciptakan kerusuhan,” tegasnya.
Pengalaman pahit aksi sebelumnya pada 13 Agustus menjadi pelajaran.Saat itu,suasana sempat panas karena muncul pihak tak dikenal yang mencoba memicu kericuhan.Kali ini,panitia berjanji akan lebih waspada terhadap penyusup.
Di sela persiapan aksi,suara-suara reflektif datang dari warga.Mereka bukan tokoh besar,melainkan orang-orang sederhana yang sehari-hari berjuang untuk hidup.
“Kalau pemimpin hanya sibuk dengan kursinya,rakyat kecil seperti kami yang jadi korban.Saya ikut turun bukan karena benci,tapi karena ingin anak-anak saya punya masa depan lebih baik,”kata Siti (42), seorang pedagang sayur di Pasar Puri.
Senada,Joko (27),seorang buruh harian,menuturkan kegelisahannya.“Setiap hari kami kerja keras, tapi kebijakan pemerintah daerah seolah tak berpihak.Demo ini cara kami bilang,cukup sudah.Kami ingin perubahan.”
Kiniwarga Pati menunggu di persimpangan sejarah.Apakah suara mereka akan menggetarkan gedung DPRD,ataukah lagi-lagi terabaikan oleh kekuasaan?
Di tengah panasnya isu politik, ada satu hal yang jelas: pada 25 Agustus,ribuan orang akan melangkah bersama.Mereka datang bukan hanya membawa poster dan teriakan,tetapi juga harapan bahwa kepemimpinan di Pati bisa berubah menjadi lebih adil.
“Rakyat bersatu bukan karena benci,tapi karena cinta pada tanah ini,”kata Husein menutup percakapan.
Dan ketika ribuan langkah itu berpadu di jantung kota,sejarah tak lagi hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa.
Ia juga ditorehkan oleh rakyat kecil yang menolak bungkam,oleh pedagang yang meninggalkan lapaknya,oleh buruh yang sejenak berhenti dari pekerjaannya,demi satu keyakinan : bahwa suara rakyat adalah cahaya yang tak bisa dipadamkan.
Artikel Terkait : Bukan Tanggal 20, Demo Besar-besaran Jilid 2 Digelar 25 Agustus Desak Percepat Pemakzulan Sudewo
Pada 25 Agustus,Alun-alun Pati bukan sekadar tanah lapang, melainkan panggung tempat harapan dan keberanian berpadu dalam satu teriakan—teriakan untuk perubahan.(TifaPapua.net/Imelda).